Rabu, 30 November 2011

Menangkal Insurgensi Terorisme


Cetak
E-mail

Setelah sebelumnya Kepolisian RI berhasil mengusut serta melumpuhkan aktor dari Bom Kuningan II, kini kerja mereka kembali tersorot dalam operasi melawan teror di Aceh hingga Pamulang, Tangerang. Lantas, apa kiranya penyebab dari kemunculan terorisme itu? Dan bagaimana cara menangkalnya?

Di Aceh operasi ini masih terus berlanjut. Berawal dari adanya pelatihan kelompok bersenjata di Desa Jalin, Aceh Besar, pada 22 Februari, berkembang pula isu adanya upaya terorisme di Selat Malaka atas dasar laporan dari Singapore Shipping Association (SSA). Sebuah operasi yang tidak sia-sia telah mengorbankan tiga prajurit terbaik Polri (ada pula korban dari masyarakat), dan menangkap 17 tersangka termasuk dua yang tewas. Sementara upaya peningkatan keamanan selat Malaka pun tetap terus dilakukan misalnya melalui frekuensi pantauan radar laut integrated maritimme surveillance system (IMSS).

Operasi ini menyambung pada pelumpuhan teroris di Pamulang. Ketaksia-siaan pun turut hadir sebab berdasarkan keterangan resmi dari Polri, seorang gembong teroris, Dulmatin, tewas dalam persitiwa itu. Belakangan secara bertahap mulai terungkap bahwa ada hubungan antara teroris di Pamulang dengan di Aceh. Dulmatin yang dituduh menjadi otak dari Bom Bali I berperan penting pula dalam menyiapkan pelatihan militer kamp teroris di Aceh, termasuk mengatur pembelian senjata, amunisi serta pendanaan.

Dipilihnya Aceh sebagai basis baru dari kelompok teroris di Indonesia jelas merupakan ancaman dari proses perdamaian yang tengah terus dibangun. Bersyukur kebanyakan warga Aceh yang sudah letih dengan kekerasan itu segera melapor pada aparat terkait. Sementara itu, Gubernur Irwandi juga berupaya menenangkan situasi dengan menyatakan teroris  tidak terkait dengan GAM, dan justru ingin memanfaatkannya. Dan sebuah praktek insurgensi tengah diupayakan oleh kelompok itu, begitulah berdasarkan keterangan dari Kepala Desk Antiteror Menkopolkam Ansyaad Mbai (Kompas, 11/3).

Kemunculan Terorisme

Insurgensi yang berarti pemberontakan, mengutip Laitin & Feron (1997, 78-79) memiliki pengertian sebagai “technologi” dalam konflik militer ketika kelompok bersenjata melakukan praktek taktik gerilya. Dimana gerakan ini dimotivasi oleh beragam agenda politik dan ketidakpuasan.

Terkait dengan itu, ada beberapa teori yang hadir dalam upaya menjelaskan munculnya praktek “teror” ini. Penjelasan pertama hadir dalam perspektif deprivasi yang biasanya disejajarkan dengan rasa kehilangan atau perampasan. Misalnya Scott Appebly (2000) yang melihat bahwa kelompok militan Islam merasa ada perampasan, jika tidak penghilangan, terhadap hak ekonomi, sosial dan politik mereka oleh adanya negara sekuler. Maka perang mereka adalah melawan negara sekuler yang dianggap telah gagal menjamin keadilan dan kesamaan.

Kelompok penjelasan kedua hadir dengan melihat dari segi teologis dan sosial. Jurgensmeyer (2004) misalnya, percaya bahwa agama memberikan legitimasi moral terhadap aksi kekerasan, khususnya terorisme. Hal ini dengan memberikan imajinasi mengenai “Perang Suci” atau “Cosmic War”, yang pada intinya memberikan basis pandangan atas dasar “kesucian agama”. Sebagai contoh serangkaian aksi teror kerap dihubungkan dengan perang melawan “maksiat” atau “si kafir”, misalnya ketika teroris meledakan Klub Malam di Bali atau Kedutaan Besar negara asing.

Kemudian penjelasan yang ketiga melihatnya dari sejarah. Katakanlah Bilveer Singh (2004) ketika menjelaskan kehadiran militan Islam di Indonesia. Singh memandang pentingnya runutan sejarah terhadap lahirnya Jamaah Islamiyah (JI). Menurutnya kehadiran JI merupakan kelanjutan dari gerakan Darul Islam beserta eksponennya yang muncul sejak masa sebelum kejatuhan Orde Baru.

Menangkal Terorisme

Jika kita melihat pada perspektif pertama dari kemunculan aksi teror ini, maka akan muncul bantahan soal anggapan bahwa ada negara sekuler. Jelas Indonesia bukan negara sekuler “secara utuh” sebagaimana yang dimaksud. Hadirnya pengadilan agama, UU Bank Syariah bahkan Departemen Agama di negara ini setidak-tidaknya bisa melemahkan argumen itu. Terlebih lagi Aceh sekali pun bukan wilayah sekuler, malah justru Syariat Islam merupakan nilai serta semangat yang dijunjung oleh masyarakatnya.

Barangkali kegagalan dari negara untuk memenuhi kesamaan serta keadilan merupakan bagian yang masih relevan dari penjelasan pertama ini. Kalau memang demikian, sebuah komitmen negara menjamin keberlangsungan demokrasi yang memenuhi kecukupan hidup warga negaranya meski dikedepankan dalam menangkal kemunculan teroris dalam pandangan yang pertama.

Sementara pandangan kedua yang melihat kemunculan terorisme berakar dari “doktrin” agama jelas menjadi lemah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa tidak semua pemeluk agama atau pun organisasi keagamaan yang menggunakan cara syaitan itu. Kalau pun ada seorang yang melakukan teror dengan “pembenaran” agama yang ditafrikannya sendiri, maka upaya menangkalnya adalah dengan pengarusutamaan nilai kedamaian dari agama yang biasanya dimiliki oleh kelompok moderat.

Kemudian pandangan ketiga menjadi tergagap dalam menjelaskan kenyataan bahwa ada eksponen Darul Islam yang justru malah bergabung dengan partai politik dan memilih jalan demokrasi dalam meperjuangkan agenda politiknya. Namun dalam konteks keberlangsungan eksponen JI yang sempat tertangkap kemudian (kembali) bergabung dan turut menyelenggarakan aksi teror, tentunya dibutuhkan usaha menangkal yang khusus. Sebuah upaya pendidikan serta pengawasan berlanjut pada eskponen tersebut tetap harus dilakukan oleh negara. Gagasan menggalang eksponen itu sebagai strategi membantu kerja kontrateror tidak salah. Di samping penerimaan masyarakat terhadap eksponen tersebut untuk kembali bermasyarakat juga mesti dilakukan.

Sebagai penutup, yang perlu juga diperhatikan dari tesis Laitin dan Feron mengenai insurgensi ini adalah kelemahan pada peran negara khususnya di sektor keamanan. Lemahnya regulasi, kinerja aparat serta pengawasan adalah diantara penyumbangnya. Jika memang demikian sebuah upaya menangkal terorisme adalah memperbaiki kelemahan itu secara mendasar di sektor keamanan.

Disadari atau tidak, upaya ini sesungguhnya juga sedikit banyak telah dijajaki sebagaimana terlihat dalam keberhasilan Polri mengungkap dan melumpuhkan dalam operasi di Aceh dan Pamulang. Meski bukan tanpa kritik karena masih adanya korban dari warga biasa dan dilumpuh-matikannya sang teroris. Namun, sembari memperhatikan kritik itu, yang diperlukan adalah melanjutkan peningkatan kinerjanya.
Sejarah tentang Terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari Terorisme dengan mengacu pada sejarah Terorisme modern.[1]
Meski istilah Teror dan Terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.[2]
Kata Terorisme berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata Terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata Terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.[3]
Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia-I, terjadi hampir di seluruh belahan dunia.[4] Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia dan Amerika. Mereka percaya bahwa Terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh.[5] Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.[6]
Bentuk pertama Terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas.[7] Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:
  1. kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM.
  2. pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
  3. kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.
Namun Terorisme bentuk ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.[8] Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal "damai". Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme. Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya.[9]
Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:[10]
  1. ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
  2. keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
  3. tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
  4. serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar