Menurut ajaran Islam manusia dibekali Allah
dengan berbagai perlengkap- an yang sangat berharga antara lain akal, kehendak,
dan kemampuan untuk berbicara. Dengan akalnya manusia dapat membedakan antara
yang benar dengan yang salah, yang baik dengan yang buruk, antara kenyataan
dengan khayalan. Dengan mempergunakan akalnya manusia akan selalu sadar dan
dapat memilih jalan yang dilaluinya, membedakan mana yang mutlak mana yang
nisbi. Karena manusia bebas menentukan pilihannya, ia dapat dimintai
pertanggungan jawab mengenai segala perbuatannya dalam memilih sesuatu.
Perkataan al-’aqal dalam bahasa Arab berarti
pikiran dan intelek. Di dalam bahasa Indonesia pengertian itu dijadikan kata
majemuk akal pikiran. Perkataan akal dalam bahasa asalnya dipergunakan juga
untuk menerangkan sesuatu yang mengikat manusia dengan Tuhan. Akar kata ’aqal
mengandung makna ikatan.
Sebagai sumber ajaran yang ketiga, kedudukan akal
pikiran manusia yang memenuhi syarat penting sekali dalam sistem ajaran Islam.
Sumber ajaran Islam ini biasa disebut dengan istilah ar-ra’yu atau sering juga
disebut ijtihad. Namun makna ijtihad sendiri sebenarnya adalah usaha yang
sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang
mempunyai ilmu pengetahuan
Pendidikan Agama
Islam – Hal 6
dan pengalaman tertentu yang memenuhi syarat
untuk mencari, menemukan dan menetapkan nilai dan norma yang tidak jelas atau
tidak terdapat patokannya di dalam Al-Quran dan Al-Hadis. Ia merupakan suatu
proses, karena itu ijtihad dapat dilakukan bersama-sama oleh beberapa orang
(yang hasilnya menjadi ijma’ atau konsensus dan dapat pula dilakukan oleh orang
tertentu yang hasilnya menjadi qiyas atau analogi).
Sebagai hasil ketekunan keilmuwan muslim
mempelajari Al-Quran dan Al-Hadis (sebagai sumber utama agama dan ajaran Islam)
dan kemampuan mereka mempergunakan akal pikiran atau rakyu melalui ijtihad,
mereka telah berhasil menyusun berbagai ilmu dalam ajaran Islam seperti ilmu
tauhid atau ilmu kalam yang (kini) sering disebut dengan istilah teologi, ilmu
fikih, ilmu tasawuf dan ilmu akhlak.
Di samping itu mereka juga telah berhasil
menyusun norma-norma dan seperangkat penilaian mengenai perbuatan manusia dalam
hidup dan kehidupan, baik dalam hidup pribadi maupun di dalam hidup
kemasyarakatan. Sistem penilaian mengenai perbuatan manusia yang diciptakan
oleh ilmuwan muslim itu, dalam kepustakaan Indonesia dikenal dengan nama
al-khamsah (lima kategori penilaian, lima kaidah atau sering disebut juga lima
hukum dalam Islam).
Menurut sistem al-ahkam al-khamsah ada lima
kemungkinan penilaian mengenai benda dan perbuatan manusia. Penilaian itu
menurut Hazairin mulai dari ja’iz atau mubah atau ibahah. Ja’iz adalah ukuran
penilaian atau kaidah kesusilaan (akhlak) pribadi, sunat dan makruh adalah
ukuran penilaian bagi hidup kesusilaan (akhlak) masyarakat, wajib dan haram
adalah ukuran penilaian atau kaidah atau norma bagi lingkungan hukum duniawi.
Kelima kaidah ini berlaku di dalam ruang lingkup keagamaan yang meliputi semua
lingkungan itu. Pembagian ke alam ruang lingkup kesusilaan, baik pribadi maupun
perseorangan. Ukuran penilaian tingkah laku ini
dikenakan bagi perbuatan-perbutan yang sifatnya pribadi yang semata-mata
diserahkan kepada pertimbangan dan kemauan orang itu sendii untuk melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar